er

Tuesday 26 November 2013

Mercy Dahlan Iskan Jadi Angkutan Koran

Bulan Januari 2013, seorang sahabat, mantan karyawan saya yang sekarang bekerja di perusahaan operator busway TransJakarta mengirim pesan pendek. “Dijual mobil Mercedez E280 hitam. Eks milik Dahlan Iskan. Posisi mobil di Balikpapan. Kalau minat, call me…” Pesan pendek itu segera membawa saya pada kenangan pada suatu malam, di awal Maret 2003, atau 10 tahun lalu. Hujan deras mengguyur Jakarta malam itu. Saya masih di kantor melihat order koran Indo Pos dari agen-agen. Saat itu, Indo Pos baru berusia seminggu. Kebiasaan memeriksa order itu sudah saya lakukan sejak mengelola penerbitan koran harian di Palu, Sulawesi Tengah, pada 1993. Saya ingat terus nasihat Dahlan Iskan waktu itu. “Jadi wartawan hebat, tidak menjamin korannya hebat. Wartawan hebat harus belajar pemasaran, agar korannya hebat,” nasihat Dahlan. Salah satu cara belajar pemasaran koran, menurut Dahlan, adalah mau membaca rekap order agen-agen. Sebab, dari rekap itu, kita akan tahu, apakah tren penjualan korannya terus membaik atau menurun. Kalau naik, harus tahu apa yang menyebabkan naik. Kalau turun harus tahu apa yang menyebabkan turun. Selain membaca order, saya dinasihati juga agar menjaga deadline agar tidak terlambat. Setiap keterlambatan di redaksi, menghasilkan keterlambatan berikutnya di pracetak, di percetakan, di ekspedisi, di agen, di sub agen, di loper, di pembaca. Belum selesai membaca rekap order, telepon dari kepala ekspedisi masuk ke handphone saya. Isinya laporan situasi darurat. “Pak, satu mobil sewaan kita kecelakaan di dekat semanggi. Satu mobil lagi, tidak masuk karena sopirnya sakit dan tidak bisa dapat sopir pengganti,” kata Handoko, kepala ekspedisi Indo Pos. “Mencari mobil sewaan lain mungkin nggak?” tanya saya. “Sudah Pak, tapi belum dapat. Sudah tengah malam begini, sulit Pak,” jelas Handoko. Saya lihat jam di dinding. Pukul 01.30. Koran pasti sudah mulai giling. Saya lihat di kantor hanya tinggal berdua. Saya dan Rahmat, manager pemasaran eceran. “Rahmat, kita ke percetakan. Kita gantikan dua mobil yang tidak masuk malam ini. Anda pakai mobil saya,” kata saya. “Jalur satunya pakai mobil apa?” tanya Rahmat. “Mercy sedan,” jawab saya. “Haaaah…… itu mobil Pak Dahlan Iskan. Bisa gawat Pak,” kata Rahmat. “Nggak apa apa. Saya yang nyetir Mercy,” jawab saya menenangkan Rahmat. Setelah menutup kantor, saya telepon Handoko, mengabarkan bahwa dua mobil sudah siap. Satu mobil Isuzu Panther merah milik saya. Satu lagi mobil sedan Mercedez Benz E-280 milik Dahlan Iskan. “Haaah? Gak salah Pak? Mobil Pak Dahlan buat angkut koran?” tanya Handoko. “Mobil Pak Dahlan kasih jalur pendek saja,” jelas saya. Menjelang pukul 03.00 sampai juga di percetakan Indo Pos di kelurahan Jaya Satria, Tambun, Bekasi Timur. Hujan yang masih turun rintik-rintik. Setelah sejam menunggu, masuklah giliran saya, mengambil jatah agen jalur pendek dengan tujuan Blok M. Jalur ini hanya satu tempat drop, di bursa koran Blok M yang berlokasi di samping Blok M Mall. Walau pendek, jatah yang harus dibawa lumayan banyak. Ada 1.200 eksemplar. Berarti 12 koli. Petugas ekspedisi kemudian memasukkan semua koli ke mobil sedan itu. Saat bagasi terisi penuh. Masih ada 8 koli lagi. “Masukkan ke bangku belakang. Yang dua di kursi depan,” teriak saya. Setelah penuh, saya segera memacu mobil menuju Blok M. Saya taruh surat jalan dengan tujuan Agen Nurcholis, di atas dashboard. Sejam kemudian, saya sudah tiba di bursa koran Blok M. Saya lihat suasana sudah ramai. Loper-loper sudah mengambil jatah koran masing-masing. Tapi ada yang masih belum pergi, karena menunggu koran Indo Pos yang terlambat datang. Tergopoh-gopoh saya menuju lapak Nurcholis, agen besar Indo Pos di Blok M. “Pak, ini kiriman Indo Pos,” kata saya sambil menyodorkan surat jalan. “Gimana Indo Pos mau maju kalau datangnya telat? Lihat koran lain sudah selesai dibagi. Tinggal Indo Pos saja yang ditunggu. Kalau saya tidak memaksa loper nunggu, Indo Pos hari ini pasti jadi bubur. Kalau mau korannya jadi besar, kirimnya jangan telat. Koran masih baru sudah telat,” kata Nurcholis dengan nada tinggi. Saya tidak menanggapi kemarahan Nurcholis. Percuma juga dijelaskan, karena dia sedang riweuh membagi jatah koran kepada anak buahnya yang juga sudah gelisah. Pukul 05.00 memang sudah terlalu siang untuk agen besar seperti Nurcholis. Sebab, dia harus mengirimkan lagi koran-koran itu ke sub agennya yang ada di kawasan Blok M, Blok A, Blok S, Fatmawati. Belum lagi, loper eceran yang mengambil langsung di lapaknya. Karena kiriman terlambat, saya tunggui sampai pembagian selesai seluruhnya. Setengah jam kemudian, pembagian jatah rampung. Ada dua koli yang tidak terbagi, saya titipkan sebagai konsinyasi eceran. Tiba-tiba Nurcholis mendekati saya. “Sini mas, kita ngopi dulu,” ajak Nurcholis. Kami minum kopi sambil menjelaskan mengapa hari itu koran terlambat. “Jadi Anda bawa mobil Pak Dahlan Iskan?” tanya Nurcholis. Saya mengangguk. Nurcholis masih tidak percaya. “Yang mana?” tanya Nurcholis. “Itu, Mercy hitam,” jelas saya sambil menunjukkan Mercy E-280 yang terparkir di dekat Ramayana Dept Store. “Sampeyan edan. Mobil big boss kok dipakai ngangkut koran,” komentar Nurcholis. Seperti kisah sinetron saja, lagi asyik-asyiknya ngopi dan makan nasi uduk, tiba-tiba sepasang kaki bersepatu kets berdiri di depan saya. Ternyata Dahlan Iskan yang datang. “Eh, Pak Bos. Kok ada di sini? Naik apa?” tanya saya dengan gugup. “Numpang colt pick up-nya Handoko,” jelas Dahlan enteng. Seketika saya merasa bingung, kikuk, serba salah. Mobilnya saya pakai angkut koran. Pemiliknya malah naik pick up angkutan koran. Tertangkap basah pula. Keringat dingin pun mulai keluar dari pori-pori tubuh saya. “Tadinya saya mau numpang Anda. Tapi saya lupa pesan ke anak-anak percetakan agar mengingatkan kalau Anda sudah siap pergi,” kata Dahlan. “Saya memang mau ketemu agen-agen Indo Pos. Jadi saya numpang Handoko ke sini,” kata Dahlan. “Maaf Pak Bos, mobil sedan saya pakai angkut koran,” kata saya. “Mobil itu juga dibeli dari hasil jualan koran. Yang membelikan mobil itu sebenarnya agen-agen koran. Jadi tidak masalah kalau dipakai mengangkut koran ke agen-agen. Kan lebih baik begitu daripada koran kita terlambat sampai di agen. Nanti agennya marah, ngambek, nggak mau jual koran kita, habislah bisnis kita semua,” sahut Dahlan. Setelah bertanya tentang berbagai hal terkait penjualan koran, persaingan koran, berita-berita yang disukai pembaca, trik-trik pesaing, Dahlan pamit pulang. Kali ini, Dahlan bersama saya dengan mobil Mercy hitamnya menuju hotel Mulia, tempatnya menginap. Di tengah perjalanan, Nurcholis mengirim SMS: Salut dengan Bos Dahlan, mau menemui agen koran di lapak saya. Joko intarto

No comments :

Post a Comment